Istilah ituh keluar dari mulutnya Jumi, temen nDaru yang lagi hobi ngomong simelekete. Jadi pas kami nongkrong di burjo semalem, dia bilang sebel dengan budaya baru orang-orang Indonesiya yang (sok) ngringgris, (sok) nginternasiyonal, tapi sebenernya mereka adalah profil yang sedang dijajah mental secara subversif oleh gambaran serba hebat budaya barat. Entah ituh adalah budaya ato sebenernya jenis penyakit baru. “Coba Ru, situ bayangin. Ada satu fakultas yang sekarang lagi kedanan untuk diakui sebagai akademisi yang nginternasiyonal. Ada jadwal khusus ngomong boso linggis, datengin bule untuk ngajar mahasiswanya, dan ngangkat dosen bahasa linggis jugak karena kata spion sayah, dosen ituh pernah ngajar Bahasa Indonesiya di negara kumpeni sanah”.
Lha yang bikin nDaru tambah melongo lagi, fakultas ituh bukanlah fakultas yang mengajarkan bahasa tapi bidang lain yang sebenernya endak ada hubungannya secara langsung dengan pengajaran Bahasa Inggris. Dan, sekarang mereka sedang berkoar-koar untuk go international. Salah satu usaha untuk menuju cita-cita mulia itu adalah dengan menginggrisken segala kegiatan kampus.
nDaru memang bukan dari akademisi kampus ya, tapi kalok liyat fenomena ituh nDaru jugak menyayangkan gejala nginternasiyonalnya. Mau jadi nginternasiyonal ato nginggris ituh sah-sah saja kok. Bagus malah. Cuman, yang disayangkan adalah konsep nginternasiyonal-nya. Nginternasiyonal yang seperti apa? Kebanyakan, yang Jumi bilang dan nDaru liyat adalah standar internasiyonal dilihat cuman karena pelakunya fasih ngomong bahasa linggis. Asal sampeyan cas cis cus boso linggis, sampeyan sudah jadi orang internasiyonal. Lha, aneh to?
Padahal, apa yang mereka kerjakan ituh endak jawuh dari anak kecil yang ngiler pengen makan es krim sundae-nya KFC di pinggir jalan karena tergoda melihat gambar si es krim yang sangat menggiurkan. Setelah selese menikmati manisnya es krim ya sudah, selese. Sama jugak dengan tetangga nDaru yang ngebet punyak Blackberry cuman karena banyak orang pakek. Nginternasiyonal, buwat nDaru pribadi adalah lebih ke bagaimana sebagai manusiya kita melek terhadap apa yang terjadi di seluruh belahan dunia. Selain ituh, kita mampu mentoleransi ide, pandangan, dan pendapat yang beragam. Kita mampu berkomunikasi dan berbagi informasi dengan mereka yang punyak bahasa beda dengan kita, tapih endak berarti kita jadi ikut-ikutan cara hidup dan cara pikir orang dari negara lain.
Lagipula, kalok memang mau jadi akademisi yang sejati, kenapa endak mengabdikan tenaga dan pikiran untuk masyarakat Indonesiya laen yang berada di daerah terpencil atok masyarakat lain yang masih belum menikmati pemerataan informasi dan pengetahuan? nDaru lebih salut ke mereka yang mau pulang ke daerahnya setelah kuliyah laluh bekerja disana. Coba kita bayangken. Udah lulus jadi S1, membantu orang-orang yang jawuh dari peradaban, tapi tetep punya pengetahuan yang luas. Ituh lebih terhormat daripada cuman pengen nginggris.
Lagipula, kalok mau keren-kerenan karena bisa bahasa asing, mbok belajar Bahasa Latin sekaliyan atok bahasanya suku Bushmen yang susah buanget ituh. Lha, kalok Bahasa Inggris, lha udah banyak orang yang bisa bahasa ituh, endak surprais.