Kamis, 21 Januari 2010

The Word Called "Babe"


Last night, I realized that I wasn’t able to say the word “Babe” anymore. This new situation was a bit awkward for me, though I believe, deep down in my heart, that my father is much more alive now. Perhaps, I will not see him physically as I always experienced before, yet my brothers and I agreed that since the day of our father’s death we would find him everywhere: in our heart, our mind, each step of our feet, each smile we share, each laughter we make; he’s always around.

Two days ago I came to the important stage of my life that I never dreamt of, before. Losing a father is much different, though the word losing seems childish to me. I suddenly realized the essence of losing when people started to close my father’s coffin. That was the last time I saw all figures that I had been familiar with: his long legs, warm hands, gentle smile, and friendly face.

Yes, he is full of love, though, sometimes, he showed his love by asking such silly question. When I decided to move from my former Senior High School he only said yes and asked me briefly but sure, “Are you sure?”. Above all, he never complained on any decision we made or protested on any path we chose. Often, I felt that he was the only father who really understood whose daughter was. He never wanted me to dress like my Mom did. He took me to the mountains, taught me to play tennis, taught me to drive his jeep, and allowed me join the tae- kwon-do team. He was only smiling when people asked his reasons for allowing me to do such masculine things. “That’s my daughter”, he said wisely.

Two days ago at his funeral, I didn’t only become his little daughter, yet for the first time in my life, I really belonged to my father’s life. He was just only an ordinary man, with his strength and weakness. Long time ago, he was a young boy who dreamt of wearing the navy costume and staying at the navy ship. And, he made his dream come true in the next years. He loved his world in the ship. He loved being a soldier.

As a young boy, he was only taught to reach all stars in the sky and he found his miracle when he married my mother. He was the husband who adored his wife as his perfect soul mate. They shared their ups and downs for years and they were proud of seeing their five children grew as the humans who own their own life. Finally, he realized that he came to a new phase in his life when he welcomed his grandchildren to the family.

Two days ago, my father started his new life in which I believed it would be different from what he experienced all years. My Mom said in her eulogy that he was still here, yet he was only preparing the new life in a while. Yes, I do agree that he is still here. Perhaps, I will not use the word “Babe” anymore, but that word has emboldened in my soul, ensuring me that I am tougher now because my "Babe" has taught me everything of life.

My father was just like sleeping on the sofa when I watched him in the coffin. I guess, that was a nice sleep, and my dad was starting his new journey to the world where love never ends, as he always shared the one to us.




Jogjakarta, January 11th 2010

in memoriam of

Ignatius Prijadi Hastomo

July 4th 1931- Jan 9th 2010

Selasa, 19 Januari 2010

Jadi Lumba-lumba ato jadi Pesut


Gamblehan nDaru kali ini pengin ngelanjutin posting soal sepupu nDaru yang kemaren itu, sama pengin sedikit mengenang alm. babe nDaru yang barusan dipanggil Tuhan. Mungkin terdengar agak sedikit mendiskreditkan sebuah title ato pekerjaan tertentu ya,.tapi tolong mbacanya dengan tuntas, karena, sama kek postingan nDaru kemaren, kali ini sama sekali tidak pengin merendahkan ato memandang remeh sebuah status PNS.

nDaru mbaca sebuah artikel di sebuah blog, isinya kalok nDaru boleh memampatkan adalah, banyak anak di Endonesia ini endak tumbuh sesuai dengan minat yang dia punya ato bakat yang dia bawa semenjak orok. Secara spesifik sang penulis sedikit kurang setuju dengan diadakannya Ujian Nasional, pada intinya sih nDaru setuju dengan pak penulis ini, pendidikan di Endonesia kurang akomidatip. Di lain pihak, orang tua juga kurang peka terhadap apa yang diminati dan disukai oleh anak2 mereka, bahkan dalam beberapa hal anak menjadi korban ambisi orang tua yang pengin anak2 mereka seperti yang mereka harapkan. Hal yang kedua inilah yang dialamin oleh sepupu nDaru kemaren, karena bapaknya mogol jadi PNS, alhasil si anaklah yang disurung2 disuruh jadi PNS.

Di keluarga nDaru, kami anak2 babe bebas menentukan apa yang menjadi pilihan kami sendiri. Beliau begitu menghargai apa yang menjadi pilihan anak2nya. Bukan cuman itu, beliau mendukung penuh apa yang kami pilih. Memang sih kadang babe suka nyindir, dengan kata2 "kerjaan apa itu?" atau "elu kerja apa dolan?" tapi baru setelah babe wafat, kami ngerti ooooo babe sedang menyemangati kami dengan sindirannya. Dulu, babe hanya manggut2 ketika abang nDaru yang 1 mintak permisi transmigrasi ke Kalimantan, pun beliau juga hanya bilang "OK" pas abang kembar nDaru dua2nya bilang mo masuk seminari. Memang abang2 nDaru endak bisa dibilang sukses besar -kalok dihitung dengan ukuran materi lho ya- tapi toh mereka cukup sukses dalam menghidupi dan berkonsekwensi dengan pilihan mereka.

Sampai sekarang memang nDaru belon jadi orang tua, tapi apa yang babe kerjain ke nDaru dan sodara2 nDaru bakal jadi referensi yang bakal nDaru inget2 terus jika kelak nanti Tuhan menitipkan makhluk2 lucu sebagai anak2 nDaru, nDaru gak akan memaksa mereka menjadi lumba2 jika mereka pengin jadi pesut. nDaru bakal menjiplak abis gaya "parenting style" babe dan mami dalam membesarkan nDaru dan sodara2 nDaru, gak bakal sama persis memang, tapi seenggaknya punya platform yang sama dengan apa yang beliau berdua terapkan dalam mendidik anak2nya.


gambar terculik dengan semena2 dari sini

Jumat, 15 Januari 2010

Lebih Enak Jadi Diri Sendiri


Postingan pertama di tahun baru ini masih berbau refleksi nDaru akan nasib sodara sepupu nDaru di Surabaya sono. nDaru endak bermaksud mendiskreditkan para PNS dkk ya, refleksi ini murni hasil ngayal dan ngalamun nDaru yang nDaru pas-pasin ma kondisi nDaru sendiri, ada banyak kemungkinan kalok dirasa endak begitu pas dengan keadaan dan keinginan sebagian besar orang. Pas gencar-gencarnya pendaftaran CPNS bulan November maren, sodara sepupu nDaru ga ketinggalan dapet seminar gratis dari bapaknya. Seminar gratisnya tentang bagaimana menata kehidupan yang lebih cerah dan (pasti) menjanjikan dengan menduduki salah satu posisi sebagai pegawe negri sipil. Emang sih, bapaknya gak bilang secara frontal buat stop kerja di universitas sepupu nDaru, tapi bahasanya selalu dibalut dengan ekspresi, “pikirkanlah” ato “coba liat si anu”.

Sepupu nDaru ini cerita kalo isi seminar gratis bapaknya berkisar seputar kenyamanan kerja yang bakal dia dapet kalo jadi pe-en-es. Satu, jam kerja gak banyak. Duwa, dapet jaminan pensiun yang ga sedikit. Tiga, punya banyak waktu luang buat menjalani aktivitas laen. Jadi kalo misal sepupu nDaru itu ngrasa gajinya gak banyak yaaaa ngeleslah, dia kan jago Bahasa Inggris. Selese.

Dan, udah ditebak, sepupu nDaru ini gak mungkin buat mendebat bapaknya, karena toh mau dia debat ampe suaranya berubah ke suaranya sinden, bapaknya gak akan ngerti apa arti kerjaan buat dia. Sepupu nDaru ini sih bilang kalo buat dia, kerja bukan berarti cuman duit ato jaminan kalo kamu gak bakal kelaperan sepanjang kerja disini. Buat dia, kerja adalah aktualisasi diri. Dia cinta sama dunia pendidikan, tapi gak berarti kalo ngajar SD dengan gaji 10juta per bulan dia bahagia. Sepupu nDaru ini lebih nyaman ngajar calon guru dengan area pengetahuan yang lebih luas dalam tingkatan pendidikan tinggi bukan pendidikan dasar. Tapi, buat bapaknya itu cuman idealisme sempit. Ngajar ya ngajar. Titik.

Kalo menurut nDaru sih, apa yang disampaikan sodara sepupu itu bukanlah idealisme sempit, tapi sikap, sikap bahwa dia memilih untuk menjalani apapun sebagai dirinya sendiri. Dia gak ngrasa perlu jadi penerjemah handal ato kerja di Deplu kek kakaknya supaya kelihatan sebagai orang yang sejahtera di mata bapaknya. Dia juga ngrasa gak perlu buat rame-rame ikutan jadi pe-en-es kek orang-orang pada umumnya untuk menghargai diri sendiri sebagai orang yang berkualifikasi pada pekerjaan, sebaliknya dia memang menjalani karir yang diimpikannya sejak di bangku kuliah.

nDaru sering gemes dengan sikap ortu yang ‘memaksa’ anaknya buat jadi seseorang yang ideal di mata mereka. Bahwa kamu sukses itu nak, jadilah pe-en-es, jadilah ini, jadilah itu, dsb. Mungkin mereka lupa kalo tiap orang dilahirkan dengan bakat dan minat sendiri. Dan, kalo dipaksa jadi orang lain yaaa gak bakalan berhasil. Ibaratnya anjing ya, anjing lahir dengan jenis sendiri-sendiri. Gak mungkin dong anjing bulldog dipaksa jadi herder! Pastilah si anjing pontang-panting harus jadi jenis lain. Bentuk fisik saja sudah berbeda, gak mungkin disulap jadi herder. Apakah tidak sebaiknya orangtua bertanya, ‘Kamu pengen jadi apa nak?’ Mmm…nDaru sendiri blon pernah jadi ortu sih, tapi keknya tiap orang sekalipun itu anak toh punya jalan masing-masing.

Jadi, ketika sepupu nDaru ini crita kalo dia tetep kukuh bertahan di kerjaan dia, nDaru yang bersorak-sorak ngasih semangat. Paling enggak, dia gak kek orang laen yang memanfaatkan fasilitas bapaknya. Berangkat ngajar jalan kaki ya gak pa-pa. Yang laen punya leptop dibeliin bapaknya, dia setia nongkrong di depan komputer kantor. Ketika dia ganti hp setelah sekian lama hidup dengan hp jaman Panglima Polim, dia bisa berbangga karena dia beli pake duit hasil kerjanya, bukan dari bapaknya. Jadi diri sendiri memang kadang sulit, berat juga…tapi toh akhirnya…NIKMAT!