Rabu, 31 Maret 2010

pada akhirnya bukan identitas, tapi imajinasi belaka

Syahdan kata sahibul hikayat, di Jawa Dwipa ini, pernah hiduplah sebuah Perguruwan Tinggi Suwasta Nasional yang sampai sekarang masih terdengar gawungnya. Universitas Nganu, itulah nama PTS itu.

Di salahsatu program setudinya, sebutlah Program setudi Pendidikan Guru Sekolah Mbelgedes ato yang terkenal dengan singkatannya PGSM, pada suatu hari membuwat pengumuman di media tentang perekrutan tenaga asisten untuk program PJJB, Pendidikan Jarak Jawuh Banget, sebagai orang yang merasa concern dengan pendidikan di negeri ajaib ini, dan juga kuwalifikasi disiplin ngelmu kemeruh saya match dengan rikuwariyemen rekrut ituh, saya dengan semangat membara mencoba melamar di Progdi tersebut.

Singkat cerita, karena tampang saya ini kece-kece imut, dan juga otak saya yang memang pinter bawaan orok, saya diterima di progdi tersebut. Di wawancara awal, saya teken sebuah surat yang isinya saya sanggup menangani program PJJB ituh, dan saya nanti akan digaji sebesar 750.000 kepeng di 6 bulan pertama, dan 6 bulan berikutnya, saya ndapet gaji 1.500.000 kepeng. Saya setujuh dengan sarat2 tersebut.

Kemudian saya menjalani hari-hari menjadi asisten di progdi tersebut, sebagai asisten, posisi saya ndak lebih dari jongos yang disuruh itu disuruh ini, disuruh nggajuli ngajar dosen-dosen seniyor yang pinter-pinter [nipu] ituh, karena mereka sibuk ngobyek diluwar, entah obyekan apa saya juga endak begitu tauk. Lalu ketika tahun perkuliyahan baru dimulai, saya jugak dimintak buat jadi pengajar buwat beberapa mata kuliyah di program setudi itu, karena saya memang cita-citanya njadi Begawan, maka saya nerima-nerima aja itu pekerjaan yang dikasih ke saya ituh.

Yang menjadi masalah adalah sistem penggajian saya yang amburadul blas. Kata sumber yang kurang bisa saya percaya, penggajian yang amburadul ituh saya dapet gara-gara system rekruitmen dulu endak memenuhi prosedur yang seharusnya, tapi kata spion saya yang saya percayai, itu dikarenakan oleh famili, keponakan dari wakil pimpinan di fakultas yang menaungi progdi ini endak lulus seleksi jadi asisten kayak saya ini, entah karena memang ndak pinter, atau tampangnya jelek seperti mbokde-nya itu. Jadinya sang wakil dendam dan ngeluarken kebijakan yang sedikit banyak merugikan para asisten inih. Jadi gajian yang katanya di bulan ke 6 jadi sakjuta setengah kepeng itu ndak pernah terjadi. Kami disuruh absen tiyap hari dan satu jam-nya dihargain 4.600 kepeng, itupun masih musti dipotong jam kami ngajar regular karena KATANYA, ndobolnya bu wapim ada imbalan tersendiri dari ngajar ituh, tapi honor pekerjaan saya yang pakek telepati dengan mahasiswa-mahasiswa itu sampek sekarang jugak belon dikasih. Sebulan saya gajian jugak pasti bukan tanggal 1 awal bulan, kadang tanggal 15 kadang 20, bahkan sempat satu bulan saya gajian tanggal 30. Untung pacar saya itu cukong pengepul biting sintetis, jadi hidup saya ndak gitu keleleran amat.

Di bulan Ruwah nanti, saya mau diberhentikan, alasannya jugak karena kesalahan prosedur penerimaan dulu. Tapi di lain pihak, spion saya bilang itu jugak karena Bu Wapim endak berkenan dengan para asisten yang sudah tega menyingkirkan familinya yang dulu nglamar dan endak diterima. Apakah semua asisten diberhentikan? Ternyata endak, sebagian masih dipertahankan, tapi yang jelas yang dipertahankan bukan saya. Yang di pertahankan adalah anak-anak dari para Begawan yang sudah lama mengabdi disitu, dan juga mantu dari salahsatu Begawan bangkotan yang sudah mbaurekso disitu puluhan taun.

Saya belon tahu setelah Ruwah nanti saya mau kerja dimana, tapi yang jelas saya ndak gitu minat di Progdi Pendidikan Guru Sekolah Mbelgedes ituh, bukan karena gajiyannnya endak jelas, tapi sepertinya otak saya terlalu pinter untuk saya aplikasikan disitu, disamping kurikulumnya masih ndeso dan endak keren babarblas, saya endak mau mengorbankan isi jidat saya yang memang mletik ini untuk menjadi salahsatu biang kekacauan duniya pendidikan di negeri ajaib inih.

n Cerita ini hanya rekaan penulis belaka, tidak ada kesamaan nama tokoh ataupun tempat karena sudah melewati proses editing. Jika memang ada kesamaan runutan kejadian, itu adalah benar-benar kebetulan belaka.

Senin, 22 Maret 2010

Bisnis Sekolahan (Sertifikasi Dengkul part 2)


Semenjak mbantuin tetangga nDaru yang kemarin itu, nDaru kok merasa jadi orang paling care dengan dunia pendidikan di Indonesia ini ya..wekekekek..tapi ya ndak pa2 lah, kali2 aja tulisan nDaru ini ada yang mbaca dan kemudian bareng2 mbikin dunia pendidikan Indonesia ini sedikit lebih baek, maka dari itu, tulisan nDaru kali ini mau menggunakan kata ganti orang pertama " saya" bukan "nDaru" dan makek bahasa yang sesuai dengan EYD..biar terlihat ngilmiyah gituh.

Dari beberapa tanggapan yang saya terima menyoal posting saya yang edisi sebelum posting ini. Saya sedikit banyak berkesimpulan bahwa dunia pendidikan di Indonesia ini masih banyak yang perlu diperbaiki. Dari kesaksian Jeng Pito soal "mama"nya yang getol menyelenggarakan pelatihan sertifikasi untuk guru-guru SD, sampai pada artikelnya mas stein tentang pengalaman dia sekolah di ndeso. Dan refleksi beliau ketika mencarikan sekolah untuk anaknya. Terbersit satu kesimpulan di benak saya bahwa pendidikan di Indonesia ini masih jauh dari esensi mendidik yang sebenarnya.

Bagaimana tidak, sekarang banyak sekolah-sekolah yang berlomba-lomba menyandang status, berstandard internasional, bukan saja sekolah swasta, sekolah negri juga ikut-ikutan melabeli dirinya dengan standard internasional, sekolah apakah ini? Apakah sekolah-sekolah ini diperuntukkan bagi mereka-mereka yang mau menjadi babu eh diplomat atau bisa kerja di luwar negri? standard kompetensi dari sekolah internasional ini kekmana? Atau jangan-jangan sekolah berstandard internasional ini hanya sebagai iklan untuk menggaet murid saja? Tentu hal ini jauh dari esensi mendidik bukan?

Lagi, sertifikasi guru-guru SD, apakah mereka para pahlawan tanpa tanda jasa ini sudah dipersiapkan secara matang untuk mengikuti sertifikasi? Apakah guru-guru yang sudah sepuh dan sudah mengabdi selama 3/4 umurnya juga masih dibebani dengan sertifikasi? Rasanya kok tidak perlu. Pengabdian mereka yang rata-rata sudah lebih dari 20 tahun itu sepertinya sudah lebih dari cukup untuk mengkonversi syarat-syarat sertifikasi yang absurd dan kontradiktif itu.

Saya pernah berwawancara dengan seorang mahasiswi PGSD di Universitas Nganu tempat saya bekerja ini. "Situ kok mau kuliah di PGSD kenapa?" Jawabannya benar-benar mirip dengan para korban MLM yang hanya mengharap seonggok emas buat hari tua mereka. "saya mau jadi PNS guru SD mbak, mbak nDaru kan tau, sekarang nasib guru benar-benar sedang diperhatikan oleh pemerintah, jam kerja sedikit, gaji banyak, pensiunan jg ndak sedikit lho" Saya yang sebenarnya mengharapkan jawaban yang patriotis dan dramatis, terpaksa masygul mendengar jawaban yang brilian ini. Sungguh benar-benar niat yang mulia dari seorang calon pendidik anak-anak bangsa. Misi yang amat mulia bukan? Minimal untuk jidat dan perutnya sendiri.

Tidak lama kemudian,saya kedatangan tamu dari Semarang, setelah ngobrol ngalor-ngidul tentang jaringan pendidikan nasional di negeri ajaib ini, dia kemudian membisikkan sebuah iklan kepada saya. S2 "hanya" 13 juta, tidak perlu kuliah dan membuat thesis susah, pokoknya hanya asal datang dan tanda tangan absen, M.Pd sudah bisa ditambahkan di belakang nama saudara. Apa tidak enak banget itu? Sementara di Universitas Nganu tempat saya bekerja, program pasca sarjana pendidikan itu uang pangkalnya saja 8 juta, total jika ingin mendapatkan gelar M.Pd kita haru mengeluarkan uang kurang lebih 19 juta rupiah, itu masih harus membaca literatur, ikut kuliah, membuat tugas, thesis dan kawan-kawannya.

Menjadi profesi pengajar sudah didasarkan pada untung dan rugi, dengan kuliah di PGSD atau jadi M.Pd catutan bisa dijadikan modal buat mengeruk uang pemerintah dari gaji bulanan mereka, belum uang-uang yang lain yang bisa berpotensi untuk kesejahteraan diri sendiri. Masih banyak gedung-gedung sekolah dasar yang kondisinya lebih dramatis dari SD tempat anak-anak Laskar Pelangi bersekolah, bahkan sampai sekarang ini. Pernahkan terbersit di benak mereka untuk mengajar di sekolah-sekolah seperti itu?

Pendidikan benar-benar menjadi komoditas bisnis yang menggiurkan. Cita-cita luhur yang ditanamkan oleh para bapak-bapak pendidikan kita seperti Ki Hajar Dewantoro itu betul-betul hanya menjadi simbol dan iklan belaka. Memang masih banyak orang-orang yang mau membuat perubahan, mau dan bergerak dengan kemampuan mereka sendiri untuk peduli pada dunia pendidikan di negara ini, tapi sepertinya jika sistem kependidikan di negara ini masih gini-gini saja...ya tidak usah mengharap banyak dulu

Kamis, 18 Maret 2010

Sertifikasi Dengkul


Memperhatikan dan mengikuti dunia pendidikan di negeri ajaib ini benar2 membuat perasaan nDaru bercampur antara miris, jengkel, muak, tapi kok ya mesakke. Jadi ceritanya ginih: beberapa hari ini, nDaru sibuk mbikin piagam dan sertipikat asli tapi palesu. Bukan buwat nDaru sendiri, tapi buwat ibuk2 tetangga nDaru yang lagi mumet jungkir balik buat memenuhi syarat2 sertifikasi guru SD yang lagi rame2nya dibikin sama pemerintah.

Si ibuk ini sudah jadi guru selama kurang lebih 30 tahun lamanya, 30 tahun mengabdi jadi guru jujur berbakti mirip Oemar Bakrie. Tapi pengabdian beliau yang tulus ini terpaksa dinodai dengan kecurangan-kecurangan kecil kek mbikin sertipikat dengkulan tadi biyar bisa ndapet predikat : GURU SD BERSERTIFIKAT. Beliau terpaksa ngikut sertifikasi ini karena didesak biar cepet2 ndapet sertifikat ini. nDak tau juga efeknya kalok endak dapet sertifikat apa mau dipecat ato gimanah, yang jelas POKOKnya beliau musti bersertifikat.

Menurut nDaru, yang sementara ini jugak berkecimpung di belakang layar dunia pendidikan. Sertifikasi guru SD inih hanya akal-akalan orang2 brengsek buwat nyarik tambahan penghasilan baru, bagemana endak bisa sampek pada kesimpulan itu, lha di depan mata kepala nDaru sendiri, ibuk yang nDaru bantu ini menyisipkan amplop berisi duid tentu saza, yang beliau ambil dari gajinya yang endak seberapa itu, kepada assessor yang meneliti berkas2 portfolio yang dia serahkan...Diyasar assessor a*(5)u.

Ditinjau dari persyaratan kelengkapan berkas dan administratip saja, program sertipikasi guru ini sungguh mbingungi dan kontradiktip, bagemana endak hayo, ha wong jadi guru SD itu kan susah to. Setiap hari menghadapi dunia anak2 yang dinamis dan penuh dengan variabel2 kehidupan yang harus disikapi dengan kepala dingin dan kecerdasan jugak kesabaran yang luwar biyasa. nDaru salut buwat semua guru SD di republik ini, mereka dengan tekun mengajar didepan kelas, sementara yang di ajar jidatnya mengembara entah kemana. Praktisnya, jadi guru itu mustahil buat disambi dengan pekerjaan yang laen, eeeeee lha ini, persyaratan administratip dari sertipikasi ini mewajibkan para guru untuk mempunyai kegiatan lain dalam kemasyarakatan, ngikut kepengurusan RT, ngikut Darma Waria Wanita, ngikut seminar itu semilir ini. Lha kalok si ibu guru sibuk ngurusin RT, siapa yang mengoreksi THB murid2nya? lha kalok si ibu guru sibuk darma wanitanan, siapa yang ngawasin murid2nya belajar? Jiyaaaan ndak relevan banget kan?

Si ibuk tetangga nDaru ini, daripada beliau menyalah-nyalahkan sistem dari ndak tau siapa itu (=baca depdiknas) mendingan dia mengikuti aturan maen yang ada, walaupun dengan sedikit (tapi banyak) curang. Di SDnya, orang yang lulusan S1 hanya dengan gacuk ijasah mbayar, kerjanya cumak ngasih PR dan mukulin pantat murid2nya bisa langsung ndapet sertipikasi meski baru jadi guru selama 2 tahun doang, sementara si ibuk ini dengan masa bakti yang sedemikian panjang musti menempuh perjalanan yang berliku buat ndapetin sertipikasi t@* ini..sebuah sistem yang ndak gawul babar blas kan?







Rabu, 03 Maret 2010

Brani nDak Bilang Tidak?? Hayooo??


Dulu, jaman nDaru masih baru-barunya di kampus nganu ini, pas masih jadi karyawan baru yang baru terdengar, nDaru sering sekali dikasi kerjaan yang sebenernya endak masuk ke tugas nDaru. Kebanyakan kerjaan itu sebenernya kerjaan senior. Jadi, tar nDaru yang disuruh kerja, disalah-salahin sama pimpinan, digoblok-goblokin juga, terus begitu kelar yang dapet nama dan honor sudah pasti yang seharusnya ngerjain tu tugas. Fenomena seperti itu keknya emang normal di dunia kerja ya, cuman nDaru ngrasa ndak seharusnya nDaru diem trus.

Akhirnya, setelah bersabar selama 2 bulan, nDaru langsung nyolot ke pimpinan. “Trus, nama jabatan ini bukan nama saya ya, Pak? Namanya Pak Tiiiitttt *sensor* endak diganti nama saya?”. Cukup satu kalimat tajam dan tegas. Dan, si bapak yang mungkin berpikir nDaru bisa disuruh-suruh seenaknya langsung merah padam. Antara malu dan kaget mungkin ya. Jeplakan nDaru yang kedua cukup bikin satu bapak senior lagi kaget karena mungkin beliau berpikir nDaru sama kek karyawan baru laennya yang masih belon malu-malu kucing, yang ndak bakal berani ‘melawan’. nDaru cuman bilang, “Buat saya, bayaran kerjaan maren ada di surga, Pak! Saya diajarin Babe saya kalok berbuat baek pasti ndapet imbalan disono, itu kalok belon ada reformasi birokrasi surgawi lho ya” Dan, si bapak langsung mingkem.

Setelah itu, nDaru ndak pernah lagi disuruh-suruh. Gantinya, temen-temen nDaru yang laen, yang selalu sendika dhawuh tiap kali disuruh, yang jadi asisten para senior. Kerjaannya bejibun, bahkan melewati jam kerja normal. Tar ganti proyek ato kerjaan yang laen, pasti dikasi ke temen-temen itu. Dan, mereka selalu dengan patuh bilang ya ato baik tanpa pernah bilang maaf, saya tidak bisa pak/bu! Sementara nDaru? Ya tetep jadi karyawan biasa aja, bahkan terkesan garing karena ndak pernah diajak ngerjain proyek mbikin tahu sintetis atau mbikin tempe dari jagung, ndak pernah juga diajak rapat.

Tapi toh, nDaru ndak pernah nyesel sama apa yang udah nDaru kerjain. Meskipun terkesan bahwa itu arogan, sok, dan kemlinthi, nDaru cuman ngrasa kalo nDaru musti bersikap. nDaru ngrasa harus membatasi diri dan kadang nyolot buat bilang tidak karena itu saatnya stop buat melacurkan diri ke dalam pekerjaan. nDaru tetep butuh waktu buat orang laen, buat nDaru sendiri, juga buat anjing-anjing nDaru di rumah. Emang sih, temen-temen nDaru itu pada dapet bonus, tapi nyatanya nDaru yang malah metani tumonya Gogon pas temen-temen nDaru berapat dan berproyek ria, nDaru tetep bisa idup dan sehat lahir batin. Malah, satu temen nDaru yang kudu lembur tiap hari masuk ke rumah sakit kena kombinasi DB dan tipes. Dan, apakah para senior itu nengokin dia? Endak. Ada beberapa sih, tapi kebanyakan yang ndak pernah nyuruh. Abis itu, masih aja mereka ngasi kerjaan ke dia dan jumlahnya ditanggung banyak sekali.

Ada banyak hal yang tidak bisa menggantikan tidur nyenyak nDaru, kenyamanan pas bareng orang-orang deket nDaru, tawa lepas nDaru ngliat anjing-anjing nDaru petingkahan, dan kepuasan cuman karena bisa ngepel lante rumah sendiri, sekalipun itu proyek ratusan juta rupiah.