Rabu, 30 September 2009

Between Michael Jackson and Mbah Surip


These two people are famous, labeled as a star, sell million copies of songs, hold degree as one of the most successful musicians. Those men place the paths where people want to grasp; richness, popularity, and ease to do anything. It seems that they got a perfect life. Nobody denies their existence. Everybody loves and sings their songs. My friend who studied Music said that one of musician’s success is witnessing people’s enthusiasm when they sing his or her songs. In that point, Michael Jackson and Mbah Surip score higher than others. Yet, whether or not they are in the same type, there are some differences that make me interested in them.

Among world musicians, Michael Jackson is undeniably the most successful one. He grasped popularity since he was just 5 and spent the rest of his life living in popularity. He had a perfect voice with attractive dance show. He sold more than a hundred copy of album, claimed to be the highest number in music industry. In fact, until now, nobody does the same wow. In the opposite, Mbah Surip got his popularity when he was not young anymore. He didn’t have perfect voice and attractive stage show. Many people say his songs are only a group of silly and simple songs. Compared with Michael Jackson’s songs, they were nothing.

Yet, Mbah Surip played his role wisely. He was pleased to have interviews or meet the press. He welcomed everybody who wanted to know him. He didn’t think that he should have been a perfect actor, yet he dressed simply and got dreadlock. He didn’t wear any glamorous dress and didn’t ride luxurious car either. Wherever he went, his son took him with their Smash. He was still a humble man and popularity didn’t change a bit of him.

Let’s look at Michael Jackson! He built children playing ground, Neverland to take revenge to his father. His father made him lose his childhood because he insisted young Michael to have a lot of vocal exercise. Further, Michael bought a big and deluxe house, just like Buckingham Palace. He avoided media as he thought that they only wanted to destroy his life. He didn’t have any chance to meet people safely so that he took many bodyguards with him. Besides, Michael Jackson had a plastic surgery, changing his skin into white, as he wanted to be a perfect star. As a consequence, he troubled with vertigo for the rest of his life. Perhaps you still remember when Michael Jackson was sent to court as he was accused of doing sexual abuse to a 11-year-old boy. It seems that Michael filled his life with troubles and troubles.

I don’t want to judge whether Mbah Surip is an angel or Michael Jackson is a devil. I think both of them just portray opposite roles. I also cannot say that Mbah Surip is good and Michael Jackson is bad. It is not a matter of being good or bad. It’s all about choice. However, how Michael Jackson and Mbah Surip died proved that choice takes serious consequence. Michael was found died in his house, alone and terrifying. His death still left problems to his family. Yet, Mbah Surip died in peace and his close people were with him. How we run our life, however, ends in different way.


Picture grabbed from here

Senin, 28 September 2009

Selamat Pagi Dunia


nDaru selalu de ja vu dengan suasana pagi. Sinar mentari kuning keemasan berkilau hangat. Kabut pagi masih melekat di dedaunan. Udara dingin masih terasa bercampur dengan kehangatan matahari pagi yang belum menyengat. Genangan air hujan sisa tadi malam di cerukan-cerukan di ujung jalan masih terlihat. Bau tanah dan rumput basah yang segar. Orang memulai aktivitas mereka, membuka hari ini yang penuh harapan dan cita-cita dengan penuh semangat.

Suasana yang sama. Sinar hangat yang masih seperti ketika hari pertama kali nDaru berjalan di pematang sawah dan rimbunnya pohon klapa sawit menuju sekolah nDaru di TK Kanisius Raja Lingga, Sigumpar, Toba Samosir. Sama kek ketika nDaru disetrap di depan halaman SD Tarakanita Sunter, karena telat masuk. Gak jauh beda ketika nDaru siap2 menjadi Misdinar Natal Pagi di Gereja St. Yakobus Kelapa Gading. Persis ketika nDaru jalan kaki disepanjang Jl. Boulevard Timur menuju SMA. Mirip kek pas nDaru ngantri bang-jo di ring-road utara Yogyakarta, mo ke kampus ato pagi2 pas buka kios komik nDaru --sayang kena gempa :'( --. Ato pas nDaru nunggu bus jam 08.00 di sebuah halte di kampung seberang.

Dunia yang berbeda-beda, tapi dengan kehangatan yang tetap sama.

Waktu yang berlari


Teman-teman ngerasa juga nggak, bahwa rasanya waktu semakin cepat berlari? nDaru rasa iya. Sehari itu rasanya seperti sekejap saja. Bangun pagi, bikin sarapan, manasin motor ditinggal mandi, berangkat. Sampai kantor, duduk ngetik sebaris dua baris rekap mingguan, membalas satu dua email, satu dua telepon, kadang manjat plafon ato tower bentar lalu makan siang. Duduk lagi, bikin rule di server ato scan virus, defrag HD nyambi nulis blog, udah teng jam empat, pulang istrahat, maen2, ngerjain kerjaan sampingan eh udah malem lagi.Dan tiba-tiba udah weekend lagi. Sabtu ketemu Sabtu, Minggu ketemu Minggu. Lalu Senin lagi.

Mami nDaru bilang, itu hanya dialami oleh orang yang punya kesibukan saja. Karena terlalu asyik ma kegiatannya jadi rasanya waktu menjadi lebih cepat berlalu tanpa terasa. Orang yang gak punya kesibukan akan merasa waktu berjalan sangat lambat. Masak sih Mi?

Beberapa waktu yang lalu ada long weekend, hari Jumat udah libur mpe Senin. nDaru diam di rumah saja. Gak ngapa-ngapain. Membebaskan diri dari pekerjaan rutin sehari-hari. Diam saja sambil mondar-mandir ke sekeliling rumah. Kadang maen keyboard di ruang tengah, trus pindah ke teras blakang maen gitar sampai bosen, trus liat tipi, lalu jalan ke sawah belakang liat padi-padi yang menguning, dengerin gemerisik daun pohon Sengon Laut dan Pohon Nangka. nDaru sengaja gak menyentuh PC, laptop, ato PSP ndaru, karena barang2 itu yang nDaru fitnah sebagai pemercepat waktu. Kalau lapar, tinggal jalan ke warung di ujung komplek, disana tinggal pilih sesuai selera, ato klo males jalan ya bikin mie instan.

Eh, tapi ternyata meskipun nganggur begitu waktu tetep aja berlari.3 hari total dirumahpun jg tyata cepet juga, karena gak terasa udah Minggu malem lagi, besoknya udah musti ngantor lagi. Klo diitung2 nDaru cman keluar rumah Sabtu sore buat ke gereja, Minggu pagi kerja bakti bersih2 jalan komplek bareng bapak2 --maklum sendirian di rumah-- ma Minggu siang buat servis motor, selebihnya total di rumah.

Kalau dicek secara ilmiah ya, jika memang jalannya rotasi bumi lebih cepat, mestinya putaran jam dinding dimana-mana jadi ketinggalan dong??! Tapi yang terjadi sama saja tuh, matahari terbit jam 06:00 di ufuk TImur dan tenggelam pukul 18:00 di cakrawala barat.

Jumat, 25 September 2009

Dunia di Balik Kaca Kereta


Rem keretaArgo Wilis berdecit ketika matahari mulai mengintip di ufuk timur dan mewarnai langit Kutoarjo yang cerah. Masih sekitar 2 jam lagi untuk sampai di Yogyakarta. Orang-orang mulai sibuk menyambut hari. Petugas pengatur perjalanan kereta api berdiri di depan panel kontrol bikinan Belanda dengan khidmat. Seorang pemuda tanggung, memakai kaos yang lusuh, dengan wajah yang masih bersih bersinar air mandi bergegas mengambil barang dagangan asongan di warung sebelah toilet umum stasiun.

nDaru, meringkuk di sudut kursi bernomor 3A, mencoba menarik kelambu dan melihat keluar. Pendingin kereta terasa berlebihan, untung ada selimut hijau yang nyaman dan hangat.

Setiap pagi, matahari yang sama menyinari kita semua, namun kita hidup dalam dunia kecil yang berbeda-beda yang disebut rutinitas. Suasana Stasiun Kutoarjo setiap hari akan mirip seperti itu, semirip nDaru yang lagi manasin mesin motor, dan siap2 berjuang mengais sesuatu yang orang sebut sebagai peluang, harapan, dan cita-cita akan kualitas hidup yang lebih baik.

nDaru hobi banget naek kreta api, sangking hobinya, kadang nDaru naek tanpa tujuan yang jelas. Dan perjalanan kecil yang singkat seperti ini seperti memberikan kesempatan bagi nDaru buat melihat sisi dunia yang lain. Dunia kecil di balik kaca kereta yang tampak damai di kota kecil macam Kutoarjo atau sawah-sawah yang digarap oleh para petani di sepanjang jalur kereta, tempat melarikan diri sejenak dari rutinitas. Suasana yang akan selalu nDaru rindukan.

Pedulikah kita?


Dipenghujung bulan puasa kemaren, nDaru dapet tugas buat menandatangani kontrak pembelian mesin pencetak kartu mahasiswa di kawasan Glodok, Jakarta. Karena musti tandatangan klaim garansi dkk, nDaru jadi musti tunjuk muka ke vendor tu mesin pencetak. Sebuah kebetulan yang mengherankan karena dalam sebulan nDaru musti mengunjungi ibukota negri ini 2 kali. Ada banyak hal yang terlintas dalam perjalanan nDaru ke Jakarta ini. Tiba-tiba nDaru merasa menjadi seorang yang peduli terhadap kondisi sosial masyarakat Indonesia, khususnya Jakarta yang sebelumnya sama sekali tidak. Mungkin karena masa kanak-kanak nDaru, nDaru habiskan di kota Jakarta ini dan secara gak sadar mendidik nDaru buat ignorant ke suasana sekitar. Dan betapa selama kurang lebih 3 Tahun nDaru hidup di kota kecil Salatiga sudah merubah nDaru menjadi "sedikit peduli" pada sesuatu di sekitar nDaru. Budaya Tepo Sliro penduduk di kota kecil ternyata memang jauh lebih kental.

nDaru kehabisan tiket KA Kamandanu jurusan Jakarta-Semarang.Maklum H-3 menjelang cuy.. Karena musti balik ke Salatiga A.S.A.P. nDaru beli tiket KA Bisnis Senja Utama. Keadaan Stasiun Senen benar-benar sesak oleh pemudik yang mau balik ke daerah masing-masing. Dan para penumpang berdiri di gerbong tua tapi katanya kelas bisnis itu penuh sesak. Setiba di stasiun Tawang, nDaru melanjutkan perjalanan ke terminal Terboyo dengan taksi ATLAS. Merasakan nikmatnya menjadi orang kaya yang berhak mendapatkan privilege khusus karena bebas finansial hihihi.

Sampai Terboyo nDaru terhenyak. Sangking banyaknya pemudik membuat bus2 yang datang langsung diserbu dan penuh sesak. Ketika sepotong bus Rajawali jurusan Semarang-Solo tiba di terminal kedatangan, orang berhamburan menyerbu bus itu, berebutan pintu masuk yang sempit, berebutan mendapatkan tempat duduk.

Sampai di sini nDaru dihadapkan pada sebuah dilema. Kalau nDaru gak ikut berebut, mungkin nDaru bakal keteteran diterminal mpe sore. Minta jemput dari kantor jelas gak mungkin, karena udah pada libur. Gak ada yang mau antri. Gak ada yang mau memperhatikan seorang ibu muda yang sedang menggendong bayi imut yang terhimpit di belakang. Bahkan ini masih di terminal kedatangan lho, bukan di terminal keberangkatan di mana orang mustinya naik.

“Maap… maap…,” desis nDaru sambil merangsek mendesak masuk bus. nDaru gak punya pilihan laen soalnya. Sampai di dalam bus nDaru lebih trenyuh lagi karena banyak ibu-ibu menggendong bayi sambil berdiri, sementara gak ada seorang pun mengalah untuk memberikan tempat duduk kepada mereka yang lebih lemah.

nDaru memilih untuk gak duduk nyari ruang yang sedikit longgar di belakang. Ah, akhirnya nDaru menemukan tempat yang asik. Di tangga pintu belakang, di pojok depan toilet bus. nDaru bisa lempe-lempe di situ, sementara hembusan AC di atas mengurangi udara pengap bus yang penuh sesak. Jarak Semarang-Salatiga sepanjang -/+ 40 km yang masih harus ditempuh nDaru habiskan meringkuk di sudut itu sambil menghabiskan majalah DEFENDER edisi tahun jadul yang nDaru embat dari rak si Babe. ah, ternyata definisi kenyamanan tergantung sudut pandangnya. Nyaman adalah saat nDaru duduk di dalam taksi ATLAS setengah jam lalu. Nyaman adalah saat Ndaru meringkuk di sudut bus yang penuh sesak.

Beginikah wajah bangsa kita yang katanya adalah negara demokrasi terbesar di dunia setelah Amerika dan India? Kenyataannya, orang gak lagi mikirin orang lain. Cuman kepentingan diri sendiri yang menjadi landasan perbuatan di atas segala landasan. Jadi ya jangan heran dan jangan protes kalau anggota dewan korupsi. Mereka punya kesempatan kok. nDaru dan Anda pun MUNGKIN akan berbuat sama jika mendapat kesempatan itu. Ya gak sih??

nDaru jadi ingat kata-kata Anthony Cade alias Pangeran Nicholas Obolovitch, raja Herzoslovakia yang didukung Inggris dalam novel The Secret of Chimneys-nya Agatha Christie yang nDaru baca di kereta tadi. Konsep setiap orang adalah saudara dalam demokrasi adalah sesuatu yang baik. Tetapi masih agak sulit memahaminya ketika gak ada seorangpun yang mau peduli pada tangis seorang bayi didalam bus yang merengek kepanasan.

Mungkin demokrasi belon saatnya diterapkan di Indonesia. Mungkin sistem monarki-kerajaan justru lebih cocok. Flashback aja ke era Raja Hayam Wuruk yang bisa mengantarkan Majapahit dalam masa kejayaannya di seluruh Nusantara. Atau yang lebih dekat, nDaru jadi merindukan sosok diktator kuat semacam Presiden Soeharto, dengan pendapat kek nDaru ini mungkin nDaru dicap sebagai orang yang anti-reformasi dan anti-demokrasi. Ya gak papa. Gak mengapa nDaru jadi gak bisa nggacor ngocol ngeblog secara bebas lagi, asal membawa keadaan masyarakat yang lebih baik, lebih bisa saling toleransi, dan menghormati satu sama lain.


Kamis, 17 September 2009

Sedikit Review tentang puasa

Posting nDaru kali ini, tentang puasa, semoga saja bisa menjadi bahan permenungan kita semua. Mohon maaf kepada sodara2 muslim yang lagi menjalani ibadah puasa, jika tulisan nggambleh nDaru kali ini terlalu ekstrim atau menyinggung kekhusyukan teman2 sekalian, karena memang kebetulan nDaru tidak ikut menunaikan ibadah puasa, sekali lagi, tidak ada tendensi atau niat ingin menggurui dan men-judge nilai keimanan temen2 sekalian. Hanya sedikit "KALAU BOLEH" membantu me-review puasa temen2 sekalian. Sekedar pengingat buat yang mungkin kelupaan.



Pada suatu hari, nDaru membaca sebuah status yang ditulis oleh temen chatt nDaru di YM, disitu rupanya sang empunya account YM sedang meng-count down hari2 menjelang lebaran. Temen nDaru ini bahkan dari hari 1 puasa udah bikin status "(sekian) hari menuju Hari Kemenangan." Awalnya sih biasa saja, tapi kemudian di sebuah sore, nDaru nyuri denger khothbah yang disampaikan seorang ustadz di masjid. Kebetulan rumah nDaru letaknya sebrangan ma masjid komplek perumahan t4 nDaru tinggal. Hanya dipisah oleh sebuah jalan kecil selebar +/- 2 meter. Sang ustadz bertanya kepada jemaatnya “Layakkah kita diberikan kemenangan?” klo boleh ndaru sedikit merangkum khotbah sang ustadz kira2 begini neh :

Bagaimana kita mengklaim menang perang jika secara pribadi kita tetaplah sama dan tidak ada perubahan signifikan? Berapa malam kita sholat malam — atau bahkan — apakah sholat wajib sudah tidak ada yang bolong?

Bagaimana kita bisa dengan bangga menyerukan takbir jika di jalan raya kita masih serobot sana serobot sini, klakson menyalak di mana-mana. Di mana letak kesabaran yang seharusnya ada ketika berpuasa?

kurang lebih kek gitu lah..Di pertengahan bulan puasa kmaren, nDaru dapet ks4an dines ke Jakarta. Biar ngirit, nDaru pake kendaraan sendiri, jalanan Jakarta sdikit byk nDaru masih apal lah. Ironisnya, Menjelang berbuka puasa, semua orang berebut pulang ingin segera berbuka puasa di rumah. Tetapi mereka yang berpuasa ini tidak nDaru temukan nilai puasanya di perilaku berlalu lintas. Tidak ada perbedaan. Mereka sama sekali tidak berusaha menahan diri untuk tidak mengklakson ketika jalannya diserobot, ketika lampu hijau menyala, ketika ada pengendara yang lain menghalangi jalan.

Kekmana kita bisa merayakan kemenangan jika di malam-malam terakhir, dimana pahala yang kata pak ustadz di masjid deket rumah nDaru, sudah diskon diobral lagi, justru shaf-shaf sholat malam di masjid deket rumah nDaru semakin sedikit, sementara mal penuh sesak macam pasar tumpah saja. Persiapan mudik lebaran.

Mudik, momen ini nDaru rasa telah melenceng terlalu jauh dari semangat puasa Ramadhan yang dibilang pak ustadz. Semangat mudik tidak lagi menjadi semangat bersilaturahmi, tetapi momen yang tepat untuk unjuk kesuksesan dan status sosial di hadapan keluarga dan teman-teman lama. Kalau tidak, kenapa orang bela-belain beli baju baru, handphone baru, mobil baru? Kenapa mal penuh sesak?


Inget gak, Mario Teguh pernah bilang di tipi bahwa seharusnya ibadah puasa tidak lagi menjadi ajang pembelajaran, tetapi justru pembuktikan dari 11 bulan sebelumnya berproses untuk memperbaiki diri. Karena adalah mustahil jika proses perbaikan diri itu berhasil hanya dalam waktu sebulan saja.


Sekali lagi maap banget klo postingan nDaru ini berbau-bau sotoy dan ngedebleh gak genah.
Selamat merayakan Idul Fitri 1930 H
Mohon Maaf Lahir dan Batin