Sabtu, 29 Mei 2010

Siapa Bilang Dunia Adil?

Dulu, waktu ngelmu di kotanya Sultan HB X, nDaru sering banget anyel sama dosen2 sok sibuk yang kebetulan mengampu matakuliah2 yang nDaru ikutin. Dari yang songong puoool, sampek yang sok ndak punyak waktu buwat konsultasi sekripsi. Bayangpun, semaleman nDaru ngabisin waktu endak tidur, endak makan, hanya modal coffemix ngutang di burjo terdekat mbikin alat itung digital, dengan harapan mbesuk bisa dikumpul sama dosen pembimbing dan sehari kemudian ndapet repiyu dari ybs, eh jawabannya, "nDaru, saya belon punya waktu untuk membuka aplikasi yang kamu buat, saya lagi sibuk inih....ituh,....sekak...maen gaple.....dllllll....." wooooo lha buw*j1n9000****n.


Lagi, ini kisah Si Juminten, temen nDaru yang pinternya pol itu. Ada satu mata kuliah tentang kependidikan yang Si Jumi musti ikutan. Dia sudah susah2 mbikin rencana mengajar dengan mesin ketik pak RT. Lalu praktek mengajar adik2 kelasnya dengan teori dan design kuliah yang "kalok menurut para ahli pendidikan" tokcer abis, juga mengingat komentar adik2 kelas yang diajarnya yang rata2 memuji cara dia mengajar. Tapi dikomentarin miring oleh dosen pamongnya dan cumak dikasih nilai B-. Itu waktu dia kuliah, lalu ketika mbabu di kerjaannya yang sekarang, dia punya dedikasi yang bagus, punya wawasan luas, cara mengajar yang konseptuwal, program2 dan design yang bagus untuk memperbaiki kurikulum di t4 dia mbabu itu. Tapi harus tersingkir karena ndak doyan duit haram.



Balik lagi ke kisah nDaru jaman kuliah, ada 1 teman nDaru yang memang pintere pol. Hampir di semuwa mata kuliah dia ndapet A. Tapi dia ini songong, endak simpatik dan kadang buwat ndapet A itu semuwa cara dilakukan. Ada 1 mata kuliah yang membuat nDaru getem2 sama anak itu, jadi romo pengampu mata kuliah itu memberikan 1 simulasi kasus, ada anak terlahir kembar, tapi cacat, anak yang 1 endak punya paru-paru sehingga, ngganduli sodara kembarnya, lha..dokter bilang bahwa, salahsatu harus dieuthanasia agar anak yang punyak paru2 ini bisa survive. Eh temen nDaru yang pintere pol itu mendukung gagasan itu, dia memakai sebuah teori yang dulu dipakek hitler, bahwa yang kuatlah yang akan menang. Sekarang temen nDaru ini punyak karir cemerlang dan sedang mempersiapkan Beasiswanya di universitas kenamaan di luwar negri.


Banyak dosen2 yang nDaru temuin di almamater nDaru dulu yang ndak punya hati buwat mahasiswanya. Hanya karena dia Dosen dia punya hak otoritas untuk menolak atau mendiskreditkan mahasiswa-mahasiswa yang sebenernya pinter dan mempunyai kapabilitas pada apa yang mereka kerjakan. Dan ini juga yang nDaru temuin di universitas nganu tempat nDaru dan Juminten mbabu. Hanya karena mentang-mentang seniyor, trus mintak dihormatin, padahal dia korupsi duit proyek bermilyar2. Dan inilah lemahnya institusi pendidikan yang mengatasnamakan sebuah paham keagamaan untuk menjadi dasar dan statuanya. Kesalahan sebesar apapun, asal dia pinter dan licin bersilat lidah, ada kemungkinan buat ndapetin pemakluman.


Jaman nDaru sekolah STM dulu, nDaru sama tetangga2 sekomplek mbikin sebuah grup orkes. Kami sempat malang melintang di festival2 dan parade2 band di jabotabek. Mengusung lagu2 satir karya Iwan Fals, yang kemudian kami aransemen ulang, biar dikira kreatip dan punyak musikalitas tinggi, tapi sebenernya menyesuaikan dengan alat musik dan dana yang kami punya. Kami namakan band kami ini ORDUTA, singkatan dari ORkes DUnia Tak Adil. Karena ya memang demikianlah dunia ini..endak adil babarblas. Tapi yaaa...waktu dan dunia toh terus bergulir, apa Yang Diatas Sana diem saja melihat ketidakadilan ini?

Kamis, 27 Mei 2010

Orang-orang Terbuang

Anda tau Rossiana Silalahi to? Lhaaa, kok kemaren (eh ya ndak kemaren ding, pokoknya sudah agak lama tetapi belum lama sekalih, yah begitu pokoknya) sayah liyat anchor tipi yang roker inih nongol di setasiun tipi yang lain. Dan, yang bikin sayah tambah melongo lagih, beliyo endak cuman mampir nampang, tapi sekarang jadi host acara nggambleh yang sante, ya disetasiun tipi ituh. Sayah jelas kaget, wong Rossy ituh kan sudah lama jadi pemred salah satu telepisi nasiyonal. Lhaaaa, kok tiba2 beliyo ganti jalur.



Saya denger (entah ini bener ato ndak, tapih menurut spion sayah ituh emang bener je), beliyo dilengserken dari jabatannya laluh memilih pindah ke tipi lain. Dan, satu rekannya di telepisi yang sama dulu, Bayu Sutiyono, yang jugak anchor andalan tipi ituh, memilih ikut mundur gara2 ontran2 di kantornya. Pak Bayu masih jadi anchor, tapih pindah ke tipi baru yang bermarkas di Semarang dan sayah sempet melihat acaranya, sama nggambleh2 yang ringan gituh, jawuuuhh dari dunia mereka yang dulunya hard news pull.



Terlepas dari ontran2 di kantor mereka, sayah toh salut sama Bu Rossy dan Pak Bayu yang tetep menghidupi karya mereka, sekalipun sekarang mereka lagi dunia yang serba kuwalik. Lha, coba sampeyan bayangken. Bu Rossy dan Pak Bayu ituh sudah lama bergelut di duniya hard news, yang tiap hari isinya harus menganalisis dan mengkritisi persoalan negri inih secara proporsiyonal. Dari duluh mereka menampilkan profil anchor yang cool, kritis, dan cerdas. Apalagi, Bu Rossy. Berapa kali beliyo masuk ke nominasi anchor paporit pemirsa di ajang awards2. Tetangga sayah saja sampe sekarang masih mengidolakannya. Katanya endak ada yang mengalahkan ketajaman seorang Rossiana Silalahi gituh. Anchor berita ya harusnya gituh mbak, endak menor kayak di tipi –tiiiit- ß salah satuh tipi nasiyonal, endak banyak gaya, tapih ngomongnya tepat dan kena sasaran.



Pasti, sayah yakin, ketika akhirnya mereka tersingkir dari dunia yang selama inih membesarkan mereka dan kemudian pindah haluan ke news yang lebih ringan, ada rasa yang endak nyaman. Tapi toh, meski awalnya kelihatan wagu, Bu Rossy dan Pak Bayu tetep brusaha menjalani peran baru sebagai presenter acara nggambleh dengan sungguh-sungguh. Nyatanya, acara Rossy di tipi ituh sekarang sudah mulai naik ratingnya. Dan, sayah yang selalu memantau Pak Bayu jugak melihat bagaimana beliyo bekerja di depan kamera, tetep pas dan tajam sekalipun segmennya sudah beda.



Ato kita liyat persoalan Sri Mulyani yang akhirnya harus pergi ke negrinya Paklik Sam. Kasus Sri Mulyani adalah contoh nyata bagaimana seorang cerdas yang punya determinasi dan dedikasi pada pekerjaannya jadi ‘kelihatan’ tolol dan jadi sasaran kesalahan yang sebenernya endak dilakukannya. Sri Mulyani cuman menjalanken tugasnya sebagai seorang mentri, dan toh kebijakan bailout yang diambil bukan atas kehendak satuh kepala sajah. Logikanya, pembesar yang laen jugak mengamini. Dan, sekarang duit bailout ituh ada dimana, yaaa tanyak sama orang2 yang bermain kotor di kasus ituh.



Sayah ngakak waktu melihat Bu Ani diinterogasi sama pansus Century. Wong Bu Aninya sudah menjawab dari sudut ekonomi negara yang memang ituh pekerjaannya, lhaaa kok masih dikejar dengan pertanyaan, “Tapih itu endak bener kan?”, ato “Yakin perlu di bailout?”. Sayang, pansus endak membedah secara substansial aliran dananya, tapih malah menyalah2ken kenapa harus ada bailout. Selanjutnya, mereka menuntut Bu Ani buwat mundur, lhaaa terus kenapa? Sekarang sudah mundur jugak endak ada efeknya to.



Contoh-contoh begituh mewakili mereka yang sebenernya bekerja dengan baek tapih tersingkir karena endak mau ikut-ikut budayanya pembesar. Sayah jadi inget sama Jumi, temen sayah yang sering numpang curhat ituh. Dia jugak tergolong ke orang yang disingkirken di pekerjaannya cuman karena endak pernah mau patuh sama perintah atasannya yang wagu. Tapi, kata Jumi jugak, kalok mau maen mutung2an dia bisa sajah endak mau mengabdikan diri untuk mencerdaskan kehidupan bangsa lagi. Katanya sih, hidup terlalu mahal buwat mutung-mutungan. “Sayah cinta pekerjaan sayah, bukan institusi dan orang-orang di dalemnya”, begituh alasannya tetap bertahan di Kampus Nganu-nya. Bukan berarti si Jumi ituh endak hormat sama institusi dan mereka yang ada disana, tetapih kadang kita harus lebih memikirkan pada apa yang akan kita kerjakan, soalnya kalok terus2an mikir institusi dan orang-orang yang sering nyebahi gituh malah bikin setrok je.


Rabu, 12 Mei 2010

Balada Juminten

Perkenalken, nama sayah Juminten S.Pd, dulu sayah pernah menjadi tokoh sentral di tulisan inih. Akhir-akhir ini sayah sedang sok prihatin dengan apa yang terjadi di Kampus Nganu, tempat sayah mbabu inih. Sebenernya kalok mau jujur, sayah lebih cinta sama Kampus Nganu ini daripada almamater sayah dulu, sebuah universitas tersohor di kampung seberang, tempat sayah lulus dengan predikat kumlaut ituh. Tapi kadang, mencintai itu sebuah kata kerja yang susah dikerjakan.


Jadi gini, Kampus Nganu tempat sayah jadi asisten inih mendasarkan visi, misi dan statua universitasnya pada sebuah paham keagamaan, yaitu Agama Rikiplik. Anda endak perlu repot2 nyarik apa itu Agama Rikiplik ato ngaruh-ke ke Depag RI, karena agama itu cumak eksis di blog ini, sebagaimana Kampus Nganu yang jugak cumak eksis disini saja. Semua kebijakan dan peraturan kerja di kampus ini direfleksikan dari ajaran-ajaran agama Rikiplik ini, bahkan sementara inih, Pemimpin tertinggi dari Kampus Nganu ini jugak seorang pemuka agama Rikiplik ini. Na, termasuk juga soal perekrutan tenaga Begawan, mereka juga mengharuskan –walaupun hanya secara tersirat—pelamar musti beragama Rikiplik juga. Inilah yang membuat sayah prihatin beberapa hari ini.


Beberapa hari yang lalu sayah mendaptar di fakultas lain di Kampus Nganu ini, sebutlah Fakultas Ngelmu Kebatinan. Ini dikarenakan masa kerja sayah di Program Studi Pendidikan Guru Mbelgedes ini akan habis bulan Ruwah mendatang, dan jujur seperti yang sayah bilang diatas tadi, sayah kebacut cinta sama pekerjaan sayah di kampus ini. Kebetulan, salah duwa rekan kerja sayah di progdi ini juga ikut berpartisipasi mendaptar di fakultas itu


Setelah beberapa hari berharap-harap cemas, akhirnya pada suatu hari salah satu rekan sayah yang ndaptar itu dipanggil buwat wawancara Fakultas Ngelmu Kebatinan itu. Sayah endak dipanggil, dan rekan sayah yang satu lagi jugak ternyata endak dipanggil. Kalok mau banding2an, sayah merasa lebih unggul dari rekan sayah yang diterima wawancara itu. Urusan IP, IP sayah lebih tinggi, urusan tampang, tampang sayah lebih kece dari dia, urusan kreatipitas, beberapa materi ngajar dia ikut2an metode sayah, dan urusan memotivasi mahasiswa, tampang sayah yang kece inih lebih kharismatis daripada dia. Tapi yah, ternyata semua itu endak cukup buwat pembesar universitas inih, soalnya sayah dan temen sayah yang satunya tadi kebetulan endak beragama Rikiplik, sementara teman sayah yang dipanggil itu beragama Rikiplik.


Sayah sebenernya masih percaya bahwa Universitas Nganu yang sudah saya jatuhcintai sejak jaman sayah masih kuliah ituh bukan seperti yang dikeluhkan beberapa pihak. Tetapi, sayah melihat fenomena lain yang terjadi di salah satuh bagian universitas inih. Ada duwa karyawan baru yang dinyatakan diterima. Tapih, status mereka menjadi berbeda. Yang satuh bisa langsung dikontrak, yang satuh masih cuman berstatus terdengar. Kebetulan, yang dikontrak ituh beragama Rikiplik, sementara yang masih terdengar ternyata beragama lain. Itukah sebuah kebetulan belaka? Kalok toh ituh memang kebetulan belaka, sayah tetap dengan berlegowo hati mengakui bahwa saat inih memang begitulah unversitas yang saya cintai inih.


Jujur, dari hati saya yang paling dalem, sayah miris melihat diskriminasi seperti inih masih terjadi di jaman ketika peradaban manusiya sudah sampe pada pengakuan persamaan hak dan martabat manusiya. Lebih miris lagih, universitas inih disebut-sebut sebagai Indonesiya cilik, dimana semua orang yang menghuninya datang dari berbagai ras, suku, dan agama yang berbeda. Mereka, para pembesar, sayah yakin jugak sering berbicara mengenai pluralisme, persoalan HAM, ini-isme, itu-isme, dan nganuisme yang laen di berbagai seminar dan diskusi nasiyonal. Dan, karena mereka berbicara seperti ituh, merekalah yang sebenernya dijadikan tauladan untuk bersikap. Eh, endak tawunya, mereka malah bersikap demikian diskriminatif terhadap manusiya laen.


Tetapih, mungkin sayah yang terlalu berlebihan. Kalok universitas inih disebut Indonesiya cilik ya bener. Coba Anda liyat realita kehidupan di negri kita tercintah inih. Katanya mengaku Ketuhanan yang Maha Esa, kok masih ada sekelompok orang yang mendiskriminasi orang dari agama yang laen. Katanya mengaku Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, haaa banyak pasiyen terlantar di rumah sakit-rumah sakit umum daerah dan kalok Anda endak bisa mbayar endak boleh keluar ato endak bakal diperiksa sama dokter2 disana. Katanya Persatuan Indonesiya kok ada atlet bulutangkis yang merebut emas olimpiade pertama buwat Indonesiya masih susah mengurus surat keterangan kewarganegaraan Indonesiya. Katanya Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan kok dengan seenaknya bikin kebijakan dan merugikan rakyat kecil. Katanya Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesiya, lhaaa lagi2 kok masih ada balita yang kena penyakit busung laper. Begitulah..


Mungkin, tempat sayah memang bukan disinih. Ato memang benar tempat inih hanyalah untuk mereka yang beragama Rikiplik. Tetapih, kalok toh demikian sayah masih tetap dengan legowo menyalutkan kemenangan untuk mereka yang disebut berkualifikasi untuk memasuki Universitas Nganu. Sayah tetap mencintai kampus ituh, tetapih mungkin sayah jugak harus berpikir untuk meninggalkan universitas inih.


--cerita ini hanya rekaan penulis belaka, jika memang ada kejadian dan tokoh yang hampir sama dengan cerita tersebut, itu merupakan kecelakaan biasa yang disebabkan oleh preseden pribadi pembaca, penulis tidak mau bertanggungjawab atas preseden pribadi tersebut--