Senin, 22 Februari 2010

Merawat Mimpi


Pagi itu udara Salatiga masih sangat duingin. Semalem barusan ujan deres, jadi sisa-sisa keganasan ujan yang dibarengi angin kenceng masih terasa di pelataran kampus tercinta tempat nDaru nguli. Kabut masih memenuhi sebagian langit kampus dan bikin suasana jadi gloomy. Tapi, para bapak dan ibuk tukang kebon sudah mulai ribet nyapu sana-sini. nDaru emang sengaja datang pagi, soalnya aroma pagi Salatiga itu bikin ayem, biarpun hari gak cerah.

Di tengah jalan, nDaru ketemu sama satu dosen muda yang kantornya berada di satu gedung ma kantor nDaru. Seperti biasa, embak satu itu pakek sandal jepit dan berjins ria kek mahasiswa. Singkat cerita kami ngobrol sambil jalan ke kantor. Dia sempet mintak tolong nDaru buat bikin materi pembelajaran berbasis video. “Itung-itung itu kado terakhir buat mahasiswa saya mbak”, katanya. nDaru baru denger kalok semester besok kontraknya ngajar tidak diperpanjang lagi. Artinya, semuanya stop sampai disini saja.

Mirip kek nDaru, dia cerita kalok dia juga sudah memimpikan tinggal di Salatiga jauh hari pas dia masih jadi mahasiswa di Kota Gudeg. Dan, begitu lulus lalu bisa ngajar di kota impian dia, begitu gembiranya si embak sampek berat badannya naek. Hehehe. Kalok itu kebetulan yang dia bilang bukti kalok dia cinta tempat ini sih. Dan, layaknya pengajar yang masih muda dan dipenuhi idealisme, orang ini melakukan semua upayanya untuk menjadi pengajar yang baik.

Tapi, buat jadi pengajar yang notabenenya cuman mengajar karena dia emang cinta ngajar, membuat materi pengajaran dan menciptakan pembelajaran yang kreatif tidak selalu jadi bukti yang cukup untuk membuat dosen muda itu dipertahankan. Pada akhirnya toh, banyak hal yang diclaim sebagai kekurangan syarat untuk menjadi pengajar di fakultas itu.

Kecewa? “Oh, iya pasti. Saya manusia biasa. Tapi toh sebagai manusia biasa saya juga tahu kalo saya juga tidak sempurna”, jawabnya sembari menyeruput kopi paginya. Kemudian, ceritanya berlanjut ke sebuah telepon dari sebuah Perguruan Tinggi di kota lain yang endak kalah mentereng sama yang disalatiga ini menawarinya sebuah tempat sebagai pengajar. Banyak yang bilang bahwa tempat itu jauh lebih ‘mendingan’ daripada apa yang dia dapat sekarang. Sayangnya, lembaga itu tidak berada di Salatiga.

“Saya memang terlalu keras kepala karena memaksa tinggal di Salatiga. Tapi toh, saya bahagia”, ucapnya. Menurutnya, sejak pertama kali dia bermimpi tinggal di kota kecil ini, dia memang harus membayar segala sesuatu dengan segala daya dan upaya. Dan, sampai saat ini dosen muda itu masih berusaha untuk tetap tinggal di Salatiga, meski ia mengakui tawaran pekerjaan lain masih menghantuinya. Kadang dia pengen menyerah saja dan pindah ke tempat yang sudah ditawarkan padanya, tapi toh ia juga tidak bisa begitu saja menyerah untuk segala upaya yang sudah dia lakukan. Satu bukti lagi bahwa mencintai itu sulit. Mencintai Salatiga dan segala simelekete-nya tidak berarti ada penghargaan untuk turut berkarya disini. Tapi, menurut embak itu, ini hanyalah awal, masih ada rentang waktu yang demikian panjang buat dilaluin.

Tidak ada komentar: