Senin, 05 Oktober 2009

Masa SMA sedih?senang?


Kemarin malem, nDaru nganter tetangga nDaru ke sebuah kota di ujung selatan propinsi Jateng ini. Kami menjemput anak si tetangga yang sekolah di salah satu sekolah berasrama di kota kecil dibawah lereng Merapi itu. Si anak merasa gak betah sekolah di SMU berasrama tersebut setelah dia bertahan sampai kelas 2, alasan si anak, dia tidak bisa lagi menjalani kehidupan di asrama itu. Banyak program2 dan kegiatan2 yang ternyata malah menjadi beban si anak.

Balik ke sekitar 14 Tahun yang lalu, ketika itu, nDaru juga ikut babe buat menjemput abang nDaru yang kebetulan jg sekolah disana. Dia keluar seminggu sebelon EBTANAS --keputusan yang gila kan?--dan akhirnya si abang musti nganggur dulu 1 tahun untuk kemudian dapet sekolahan lagi, dan melanjutkan sekolah SMUnya. Sebenernya ada apa sih? Padahal, SMU berasrama itu sudah kondang ke seluruh penjuru negeri ini, hanya orang2 yang berotak encer saja yang bisa masuk ke tu sekolah, gak cukup hanya encer, fisik si calon siswa juga katanya ditest.

Semua ortu berlomba-lomba buat memasukkan anak mereka ke sekolah itu. Bagi mereka, itulah bentuk pendidikan yang ideal; yang tidak cuma membuat siswa berpikir kritis dan analitis, tapi juga membuat mereka bekerja keras, menghargai waktu, hidup teratur, dan menghargai kehidupan. Tapi bentar dulu, tanpa disadari bentuk pendidikan asrama dengan jadwal ketat dan segala pengaturan rapi kalau tidak disadari justru membuat perkembangan anak jadi stagnan. Anak cuman disodori oleh sebuah paket kehidupan dan didoktrin bahwa begitulah cara hidup yang benar. Padahal, anak butuh ruang dan waktu, butuh kebebasan untuk melihat kenyataan dan menentukan sikap.

Memang, disiplin tingkat tinggi di terapkan di asrama, semua harus tertib, pakaian harus terjajar rapi di lemari, semua kegiatan sudah terjadwal rutin dan persis, jam brapa musti mandi, jam brapa musti blajar, jam brapa musti e'e, hihi klo ini engga kali ding. Semua diatur dengan bunyi bel. Tanpa sadar kebudayaan "hidup tertib" ini sebenernya sudah melatih orang untuk tidak bertanggungjawab pada diri sendiri, anak jadi takut pada bunyi bel daripada pada dirinya sendiri. Istilah kemandirian hidup di asrama malah terdengar lucu. Beda ketika kita sekolah di sekolah biasa non asrama, tarohlah kita hidup di ketiak ortu, tapi toh itu jg membawa tanggung jawab yang besar lho. Seenggaknya, pada diri kita sendiri, bagaimana kita bisa bertanggungjawab dan berdisiplin buat kita sendiri,belajar karena takut gak lulus bukan karena takut bunyi bel

Babe nDaru dulu lebih memilih sekolah non-asrama dibanding sekolah ber-asrama, masa-masa SMA adalah masa2 dimana seorang tumbuh, sekolah di asrama membuat seseorang "dipaksa" untuk menjalani satu "kotak" kehidupan yang dianggap benar oleh sang pembimbing. Bahwa inilah jalan hidup yang benar, seperti ini lho kebaikan dan kebajikan itu. Seorang anak dipaksa untuk makan hanya dengan nasi kecap beralaskan daun pisang, hanya untuk menunjukan pada si anak untuk lebih menghargai makanan. Di kegiatan laen, seorang anak dipaksa untuk hidup bersama tukang becak, bersama orang miskin hanya agar si anak bisa merasakan dan "diharapkan" bisa lebih berempati kepada mereka yang kurang beruntung. Itu semua klo mnurut nDaru lebay..gak worth doin' kalau hanya untuk menunjukkan empati, simpati atau ti ti yang laen. Dunia lebih kejam daripada sekedar hidup dengan buruh tani, atau makan nasi tanpa lauk di daun pisang. Apakah dengan pernah makan nasi kecap diatas daun pisang, orang bisa bersikap ketika dihadapkan pada nasi yang lengkap, kumplit dengan paha ayam bakar dan sayur rendang tapi dibeli dari duit hasil korupsi?

Pada masa nDaru kuliah dulu, temen2 seangkatan nDaru banyak yang lulusan sekolah berasrama, memang sih IP bagus, tapi ketika ada pengemis lewat didepan mereka, mereka mengleng aja..memang membantu orang tidak sekedar memberikan duit receh pada peminta2. Tapi kan seenggaknya ada tindakan yang bisa dikerjain. Ngasih baju misalnya. Belon yang laen, yang ga tau harus bersikap apa ketika berhadapan dengan dosen killer dan akhirnya ga punya jalan lain selain nongkrong di internet, jiplak teori orang laen biar lulus mata kuliah tu dosen. Jadi apa esensinya sekolah di asrama? Kesadaran buat tertib dan menghargai diri sendiri itu dateng dari diri kita sendiri kok, biar dipaksa idup jadi pengemis di kolong jembatan rubuh, klo hati kita belum terpanggil buat ber-empati..Rasanya gak bisa diterapkan.

Tidak ada komentar: