Kamis, 29 Oktober 2009

Paradox


Semalem, pas nDaru ngobrak abrik isi rak buku mau nyari komik, nDaru nemu sebuah agenda lama nDaru. Isinya jadwal-jadwal manggung eh, kerjaan nDaru pas dulu masih nguli di perusahaan negara pengecer minyak pet. Ada 1 agenda yang membuat nDaru flashback kembali ke 2 tahun lalu, ketika dapet tugas ke Bontang. Ada 2 Paradox yang nDaru temukan disono. Tau ya paradox.

Waktu itu, nDaru bersama 2 bos nDaru. Kami baru saja melintasi tugu titik nol derajat lintang di jalan antara Muara Badak - Bontang. Sinar matahari di Kalimantan yang keemasan itu mampu menembus hembusan AC mobil yang sudah dipolkan dinginnya. Mesin Toyota Land Cruiser 4 wheel drive menggerum seram berusaha menaklukkan jalanan tanah berbatu terjal — menyusuri pipa gas yang diluncurkan dengan tekanan 700 psi dari Badak Plant. bayangkan air mineralpun jika diberi tekanan sebesar ini bakalan jadi tajem kek silet.

Kota Bontang ini kota kecil berkontur perbukitan, ketika nyampe' sana kota ini sedang bermandikan cahaya menyilaukan. Rasanya kek masuk negeri dongeng di cerita Alice in the Wonderland. kekmana engga', dua jam kami dihajar jalanan tanah berbatu, mendaki gunung lewati lembah sungai mengalir indah ke samudera<------inget OST Ninja Hattori gak?, tiba-tiba saja sebuah jalan beraspal mulus berkilauan terbujur lurus terhampar di depan kami.

Seperti masuk ke kompleks istana negeri impian ketika kami melewati gerbang kompleks PT Badak NGL yang dijaga super ketat. Kalau saja kami tidak membawa password berupa badge berlogo bulat merah-hijau-biru-putih yang menunjukkan salah satu mitra perusahaan ini dan ditambah mantra “urusan pipeline“, kami mungkin gak bakal dikasih masuk. Perumahan yang penuh fasilitas, jalanan lebar dan bersih, kanan kiri jalan dihiasi rumput hijau, bunga aneka warna, dan danau kecil, Orang gak akan pernah ngira ini adalah kompleks perusahaan kalo gak mendongak dan melihat instalasi Gas Plant raksasa dengan empat flare api-nya yang menyala-nyala.

Itu paradoks pertama. Bontang menjadi kota yang kaya raya karena beberapa perusahaan besar ada di sana. Gas dan batubara yang menghidupkan cahaya kota ini sehingga demikian berkilaunya. Paradoks, karena begitu kita keluar dari komplek ini, kita hanya akan bertemu lagi dengan hutan Kalimantan yang setengah gundul, dengan sesekali rumah-rumah kayu reot para transmigran yang herannya kok mereka bisa dan betah hidup seperti itu ya.

Paradoks kedua. Sepulang dari PT Badak NGL, kami menyempatkan diri mampir ke stasiun satelit gas launcher di KM-53. Sebuah tempat yang tidak pernah nDaru bayangkan sebelumnya. Mobil yang boleh masuk hanya yang berlisensi stiker kuning — izin masuk jalan perintis.

Matahari udah mau tenggelam. Pukul 17:00 WITA. Di pos kecil yang dikepung rerimbunan pohon, kami disambut ramah oleh dua orang operator. Mereka bekerja 24 jam memastikan bahwa plant bekerja dengan baik dan aman. Jangankan kantor pusat di Jakarta nan mewah itu, Badak Camp pun mungkin belum pernah mereka kunjungi. Ditemani segelas teh dan kopi , nDaru mencoba ngobrol sekadar berbasa-basi,

“Bapak asli sini kah?” tanya nDaru.

“Oh, saya tinggal di sini dari kecil mBak (sebelumnya si bapak manggil mas, salah sangka karena wajah nDaru yang terlalu tampan untuk dipanggil mBak) cuman saya lahir di Jawa, umur dua tahun saya baru di sini…,” jawab bapak itu sambil menghembuskan rokoknya.

“Jawa-nya mana pak?”

“Cangkringan mBak”

Mak plenggong…, nDaru melongo beberapa saat. Astaga… betapa sempit dunia. Di lokasi seterpencil ini, jauh berkilo-kilometer, kok ya nDaru ketemu dengan orang yang memiliki keprabon yang sama dengan nDaru, nDaru emang numpang lahir di negaranya Obama itu, tapi asal usul dan nenek moyang nDaru, tempat bapak nDaru mbrojol, tempat nDaru menghabiskan liburan panjang. Kalaupun Jawa, bukankah masih ada ribuan tempat selain Cangkringan? Di tempat seluas Kalimantan, nDaru terbentur paradoks bahwa betapa dunia ini sempit sekali dengan dialog pendek yang sederhana tadi.

Paradoks.

Tidak ada komentar: