Selasa, 18 November 2008

berbakti vs durhaka


Dalam budaya jawa, ada ungkapan buat orang tua kita, mikul dhuwur mendhem jero, yang artinya klo gak salah, kita harus berbakti pada orang tua dengan cara menghormati mereka berdua (mikul dhuwur) dan menyembunyikan kejelekan2 mereka (mendhem jero). Tradisi ini sejak jaman P. Diponegoro lahir, sudah menjadi ketetapan yang semua orang mahfum. Memang sih ne ungkapan baek. Di budaya manapun pasti mengajarkan bahwa respek ke ortu itu adalah wajib. Bahkan klo gak salah, di agama ndaru, orang tua adalah wakil Tuhan di dunia ini. Jadi musti kita hormati musti kita junjung tinggi segala apa yang mereka mau.

Seiring pertumbuhan pemikiran kita, kadang kala kita berada pada sebuah persimpangan jalan dan harus memilih, antara mengabdi pada orang tua, atau mewujudkan mimpi kita pribadi.Gak jarang orang yang kemudian bertemu pada pilihan ini. Dalam banyak hal, entah itu dalam hal mencari pekerjaan, mencari pasangan hidup atau masalah keseharian yang laen. Misalnya si anak pengin ke kota A, eh si ibu minta dianter ke kota B. Mana yang kita pilih, mengabdi orang tua dengan mengantar si ibu ke kota B, atau menuruti kemauan kita sendiri dan pergi ke kota A?

Ada seorang temen ndaru yang maren curhat di sela2 kerjaan yang numpuk, sambil benerin server DNS kami ngobrol soal orang tua. Temen ndaru ini sejak dari kecil udah nurut banget ke ortu, bahkan dia batal kuliah di fakultas teknik dan mengikuti anjuran ibunya buat kuliah di fakultas bahasa dan sastra. Akhirnya, kuliahnya pun ya medioker, gak bisa dikata pinter tapi bego juga engga'. Alasan si ibu pengin ndunungke anake (=mengarahkan anaknya) dia pengin anaknya menjadi guru sama kek si ibu. Kemaren ketika ada pendaftaran CPNS temen ndaru ini jg ikutan, tapi ya asal2an. Biar ibu seneng kata dia. Karena pada dasarnya dia gak suka ngajar, dia lebih suka ngulik kompie dan kawan2nya.

Temen ndaru ini juga cerita bahwa ibunya seorang PNS, pagi dia harus nganter si ibu ke kantor dulu, baru dia berangkat kerja. Dan karena jarak rumah-kantor-t4 kerjaan agak lmayan jauh, dia sering telat. Kemarin dia telat gara2 si ibu lupa pakai seragam korpri jadi musti balik dulu kerumah, ganti baju, baru berangkat ke kerjaan, tentunya setelah mengantar si ibu ke kantornya. Suasana itu masih kadang ditambah sesak dengan kebiasaan si ibuk menjelek2an dia di depan orang laen. Tapi toh itu bukan menjadi beban, malah menjadi kelonggaran buat dia. Karena gak musti jaga image menjadi anak yang baek. Jadi ada kalanya dia males2an di rumah. Haruskah kita mengorbankan pekerjaan kita hanya untuk sebuah pengabdian pada orang tua? Apakah itu berarti ketika kita engga' bahagia dengan pilihan orang tua kita? Kita menjadi setengah2 menjalani hidup kita, dan yang ada kan jadinya uring2an mulu.

Temen ndaru yang satu lagi mengeluh soal pacarnya yang gak disetujui ma ortunya. Dengan alesan pacar temen ndaru ini bekas anak nakal [hayo lebih baek mana bekas anak nakal ato bekas anak baek2?] dan hal ini dirasa bakal merusak citra ato nama baek keluarga temen ndaru itu. Sampai sekarang mereka masih backstreet. Lalu muncul pertanyaan, haruskah sebuah hal yang sebenernya melandasi sebuah hubungan, yaitu cinta, menjadi dirasa engga' penting hanya karena si cowo' bibit, bobot, bebet-nya gak match? Lagi-lagi balik atas nama pengabdian kepada orang tua. Lebih parah lagi, masih ada orang tua yang jodoh2in anaknya ma orang yang mereka rasa cocok buat sang anak, tentu saja dengan pandangan subjektip dari si ortu. Ya klo emang si cowo' itu jadi cinta dan mau menyayangi si cewe' dengan sepenuh hati gak masalah. lha klo ternyata si cowo' sarap? doyan menyiksa istri, alamat si istri bakal seumur hidup kek ikut penjajah.

Ndaru bersyukur banget bahwa keluarga ndaru bukan termasuk yang suka nuntut anaknya menjadi yang mereka pengin. Ortu ndaru cukup objektip buat mengerti dan memahami kepinginan ndaru, apalagi setelah ndaru gede ini, mereka cukup demokratis untuk membiarkan ndaru memilih jalan hidup dan pekerjaan ndaru sendiri dan gak otoriter dalam mengarahkan anaknya menjadi apa yang mereka pengin, tapi mengembalikan semua keputusan ke ndaru buat nentuin mo kekmana ndaru dalam menjalani peziarahan hidup di dunia ini. thx babe n mami.

Tidak ada komentar: